Anak-anak
yang dibully, dapat mengalami trauma kronis dan sistematis hingga
dewasa, sedangkan bullysendiri, dapat meningkatkan status sosial
seseorang dalam pergaulan. Penelitian ini dilakukan oleh Duke medicine.
Penelitian
ini, yang dilakukan bersama Universitas Warwick, Universitas North Carolina di
Chapel Hill, dan Universitas Emory, dipublikasikan secara online di
Proceedings of the National Academy of Sciences pada bulan 12 Mei 2014.
“Penemuan
kami tertuju pada konsekuensi gangguan kesehatan yang timbul karena bullying,
dan dengan melakukan penelitian tentang penanda peradangan, menghasilkan
potensi mekanisme tentang bagaimana interaksi sosial dapat berakibat pada
gangguan kesehatan tubuh,” kata William E. Copeland, Ph.D., dari asosiasi
professor psikiatris dan ilmu tingkah laku di Universitas Sekolah Farmasi Duke.
Penelitian
sebelumnya telah mensugesti bahwa korban bullying pada anak-anak menderita
konsekuensi emosional dan sosial menuju kedewasaan, termasuk kenaikkan depresi
dan kegelisahan. Belum lagi anak yang dibullying juga mengeluhkan gangguan
kesehatan, seperti kerentanan dalam mudah terserang penyakit yang dapat
memperpanjang diluar hasil psikologi.
“Diantara
korban bullying, sepertinya dapat berimbas pada kesehatan di saat dewasa,” kata
Copeland. “Di penelitian ini, kami bertanya-tanya. Apakah bullying disaat masa
kana-kanak dapat mempengaruhi kesehatan psikis.”
Copeland
dan rekan-rekannya menggunakan data dari Great Smoky Mountains Study, populasi
berdasar penelitian yang sudah mengumpulkan informasi sejauh 1420 individu
untuk lebih dari 20 tahun. Individu dipilih secara acak untuk berpartisipasi
dalam studi secara prospektif, dan untuk itu kita tidak berada di dalam resiko
yang tinggi mengenai penyakit mental atau di bully.
Para
peserta diwawancarai mengenai masa kanak-kanak, remaja, dan pemudanya tentang
pengalaman dengan bullying. Para peneliti juga mengoleksi contoh darah para
peserta untuk melihat apakah ada factor biologis dibalik semua itu. Dari darah
itu, para peneliti meneliti tentang C-reactive protein (CRP), penanda
tingkat-rendah peradangan dan factor resiko tentang gangguan kesehatan termasuk
kelainan pada pencernaan dan kerja jantung.
“Level
CRP yang diakibatkan oleh berbagai macam stress, termasuk kurang gizi, kurang
tidur, dan infeksi, tapi kita menemukan kesinambungan dengan factor
psikososial,” kata Copeland. “Dengan mengontrol peserta level CRP, bahkan
sebelum melibatkan bullying, kita mendapat pengertian yang jelas bagaimana
bullying dapat mengubah lintasan tentang level CRP.”
Tiga
grup peserta yang sudah di analisis: korban bullying, adalah mereka yang pernah
membully dan pernah menjadi korban, dan mereka yang murni membully. Meskipun
begitu, level CRP meningkat di semua grup ketika mereka menuju masa dewasa,
korban bullying di masa kanak-kanak memiliki level CRP yang lebih tinggi sama
seperti orang dewasa, daripada yang ada di lain grup.
Pemuda
yang pernah menjadi korban bullying dan pembully saat anak-anak, mempunyai level
CRP yang yang mirip dengan mereka yang tidak pernah terlibat bullying,
sedangkan pembully mempunyai level CRP terendah, bahkan lebih rendah daripada
mereka yang tidak pernah terlibat dalam bullying. Meskipun menjadi pembully
dan meningkatkan status sosial lewat interaksi ini dapat memproteksi
naiknya penanda infeksi.
Sedangkan
bullying itu lebih dirasakan lebih ringan daripada kekerasan anak-anak atau
kesalahan perawatan. Pencarian bahwa kalau bullying dapat mengganggu tingkat
infeksi pada masa dewasa. Mirip pada yang terlihat pada bentuk lain ketika
trauma pada masa kecil.
“Penelitian
kami menemukan bahwa peran anak-anak dalam bullying dapat
menghasilkan resiko atau faktor protrektif untuk peradangan tingkat rendah,”
kata Copeland. “Menaikkann status sosial sepertinya memberikan keuntungan
biologis. Meskipun begitu, ada cara bagaimana anak-anak memperoleh popularitas
tanpa melakukan bullying.”
Penelitian
tersebut menyimpulkan mengurangi bullying sama dengan
mengurangi infeksi pada korbanbullying. Hal tersebut adalah target kunci
untuk mempromosikan kesehatan psikologi dan emosional, serta mengurangi resiko
penyakit yang berkaitan dengan peradangan.
Sumber
: kompasmuda.com