Kamis, 19 Juli 2018

12 Strong : Pertarungan 12 Prajurit





Judul film                    : 12 Strong

Sutradara                     : Nicolai Fuglsig
Produser                      : Jerry Bruckheimer
Skenario                      : Ted Tally, Peter Craig
Pemain                     : Chris Hemsworth, Michael Shannon, Michael Pena, Navid Negahban, Trevante Rhodes, Geof Stults, Thad Luckinbill. William Fitchner
Rumah Produksi           : Alcon Entertainmet, Black Label Media, Pixar Animation Studios, Jerry Bruckheimer film
Tanggal rilis                 : 19 Januari 2018
Rating IMDB              : 6.6/10


Negara Indonesia baru saja dilanda suatu peristiwa duka yang berkaitan dengan aksi terorisme. Suatu kelompok yang menebar teror membabi buta berlandas paham yang sangat mereka percayai, meskipun mereka sendiri harus kehilangan nyawa. Bila kita tarik mundur ke belakang ada satu peristiwa besar mengenai terorisme yang menggemparkan dunia. Tragedi 11 September 2001, penyerangan menara kembar WTC di negara Paman Sam.

Kalau kalian menerka film ini berdasarkan kisah nyata dari peristiwa tersebut, jawabannya adalah, ya! Film 12 Strong memang berkisah tentang kisah pasukan kecil Amerika berjumlah 12 orang yang pergi mengemban tugas pasca serangan menara kembar WTC. Meninggalkan keluarga yang mereka cintai untuk pergi menuntaskan misi ke Afganistan. Pada awalnya kisah ini ditulis dalam bentuk novel dengan judul Horse Soldiers, karya Doug Stanton.

Pada awal film menampilkan berita mengenai aksi teror yang menewaskan ribuan nyawa. Dari situ saya sudah merasa tertarik dan dibuat penasaran oleh film ini. Karena tidak bisa dipungkiri aksi teror yang disebut – sebut dilakukan oleh kelompok Al Qaeda itu sangat menggemparkan dunia. Membuat masyarakat dunia menilai buruk agama Islam. Meskipun ada beberapa pihak yang menuding serangan itu sebenarnya dilakukan oleh pihak Amerika sendiri. Awalnya saya mengira film ini akan bercerita tentang pengungkapan dalang utama aksi teror tersebut. Ternyata berbeda dari yang saya perkirakan.

Bisa dibilang film 12 Strong ini mirip dengan film 13 Hours The Secret Soldiers of Benghazi, juga mirip dengan film American Sniper. Sama – sama diangkat dari kisah nyata, dan juga mengemban tugas di negara konflik. Dibintangi oleh Chris Hemsworth, aktor yang mempunyai suara agak serak – serak basah ini. Namun Chris Hemsworth tidak berambut panjang dan bersenjata palu layaknya Thor, satu karakter super hero yang sangat melekat kuat pada dirinya. Dia berperan sebagai Kapten Mitch Nelson, pemimpin dari satu regu pasukan Amerika ini.

Perang tentu sangat identik dengan kerusakan dan korban jiwa. Walau itu adalah hal yang biasa bagi para tentara, namun tentu mempunyai arti berbeda bagi keluarga tentara tersebut. Ada yang secara terang – terangan sangat berat melepas sang suami mengemban tugas ke medan perang, namun ada juga yang siap melepas suaminya bahkan memberi senyum semangat. Walaupun di balik senyum sang istri tersebut ada rasa tercekik di tenggorokan dan sesak di dada. Ada tanda tanya besar, apakah suami mereka bisa kembali pulang. Satu adegan dramatis yang membuat trenyuh, walaupun tidak disajikan dalam waktu yang lama di film 12 Strong. Kebiasaan menulis sepucuk surat sebelum berangkat bertugas oleh prajurit untuk keluarga mereka seolah itu adalah surat wasiat, menunjukkan betapa sangat beresiko tugas yang mereka emban.

Tugas Mitch Nelson dan pasukannya adalah bertemu dengan Jenderal Dostum pemimpin aliansi utara di Afganistan dan bekerja sama untuk melawan pasukan Taliban. Pelaku serangan teror adalah orang – orang Al Qaeda, lalu mengapa Taliban yang digempur? Karena Amerika menganggap Taliban melindungi kelompok Al Qaeda. Ternyata melawan pasukan Taliban tidaklah mudah. Jumlah pasukan Taliban yang dipimpin oleh Mullah Razzan berjumlah ribuan dan dilengkapi dengan senjata yang canggih. Sedangkan pasukan aliansi utara yang bekerja sama dengan pasukan Mitch Nelson hanya ratusan pasukan berkuda saja. Dalam hal ini, saya melihat bahwa Amerika menunjukkan kebesaran negara mereka dengan berbagai jalan termasuk melalui film ini. Afganistan negara yang dilanda konflik adalah yang punya tanah, namun Amerika yang punya langitnya. Karena Amerika mempunyai senjata yang mematikan, mereka bisa menembakkan rudal – rudal untuk melumpuhkan lawan yang dilepaskan dari pesawat tempur. Dan rudal – rudal itulah yang diinginkan oleh milisi aliansi utara untuk mengalahkan Taliban. Bahwa pasukan aliansi utara “butuh” Amerika. Akhirnya saya jadi ingat satu pernyataan bahwa militer Amerika itu kuat karena teknologi persenjatannya. Secara kemampuan tempur personelnya masih kalah bila dibandingkan pasukan TNI kita.

Mitch Nelson merupakan karakter seorang prajurit Amerika dengan pangkat kapten dan terbilang masih muda. Prajurit yang cerdas dalam mengatur strategi tempur. Dia sangat didukung oleh anggota pasukannya, walaupun sebenarnya pasukan ini baru pertama kali ini bertugas di medan perang. Bila dipikir secara rasional tentu sebuah penugasan yang beresiko untuk sebuah misi yang besar. Sedangkan lawan mainnya adalah Jenderal Dostum yang diperankan oleh Navid Negahban aktor asal Iran, merupakan sosok pimpinan yang sangat disegani oleh pasukannya berperang melawan Taliban.

Amerika ingin menunjukkan pada dunia bahwa siapapun musuhnya merupakan kelompok yang sangat berbahaya. Termasuk Taliban yang digambarkan begitu kejam melakukan eksekusi mati terhadap warga sipil dan membatasi anak – anak untuk menempuh pendidikan. Saya sempat berpikir apakah memang Taliban sekejam itu? Atau apakah suatu adegan hiperbolis yang ditunjukkan dalam film ini bahwa Amerika selalu tahu segalanya. Dan Amerika sebagai negara berpengaruh di dunia, turun tangan sebagai pahlawan dalam konflik itu.
Film ini merupakan film drama, bukan film action. Kebetulan saja berkisah tentang dunia militer, sehingga banyak adegan tembak – menembak. Walau begitu, adegan perang yang disajikan tetap tak kalah seru dengan film action. Tembakan rudal, suara desingan senjata laras panjang, ledakan disertai api yang membumbung tinggi, jeritan pasukan yang tertembak, tetap membuat saya tegang. Tak hanya itu, adegan bom bunuh diri juga bisa kita nikmati dalam film ini. Ceceran darah, potongan tubuh dan daging pelaku membuat saya sedikit mengernyitkan mata.

Tokoh Mitch Nelson dan Jenderal Dolsum sangat dominan  di film ini, walau ada Letnan Sam Diller yang diperankan oleh Michael Pena dan Hal Spencer yang diperankan Michael Shannon yang merupakan sebagian anggota pasukan Mitch Nelson. Jenderal Dostum bisa saya katakan sebagai pemimpin yang berwatak keras dan menilai orang dari fisiknya. Dia meragukan kemampuan Mitch Nelson karena dinilai terlalu muda untuk memimpin pasukan. Jenderal Dostum Mitch Nelson sering berkomunikasi dan berdebat dalam strategi menyerang Taliban. Sebagai manusia biasa tentu Dostum mempunyai nafsu pribadi terkait kekuasaan. Hal itu membuat Mitch Nelson geram. Dalam kondisi perang saja seseorang masih berpikir tentang tahta, bagaimana bila negara dalam keadaan aman? Tentu tatapan mata sebagai teman, namun dalam hati berupaya untuk menyingkirkan.

Aksi heroik dalam pertempuran menampilkan gaya berperang yang berbeda. Pasukan militer era modern menggunakan kuda sebagai tunggangan untuk menyerbu musuh. Kalau dalam film dengan setting waktu jaman kuno orang berperang menunggang kuda bersenjata pedang atau panah. Namun di film ini bersenjata AK47, M16, maupun senjata modern lainnya. Menggempur musuh yang mempunyai kendaraan lapis baja dengan peluru roket. Rasanya mirip saat pejuang Indonesia bersenjata bambu runcing melawan pasukan Belanda dengan senapan dan meriamnya.

Nicolai Fuglsic sebagai sutradara juga memasukkan nilai sosial dan kemanusiaan. Tentara yang mampunyai badan besar dan akrab dengan senjata api ternyata juga bisa menangis. Juga bisa bersedih bila korban perang masih anak – anak. Negara yang dilanda perang konflik berkepanjangan tentu memakan banyak korban. Anak laki – laki yang masih memasuki usia remaja dipaksa untuk mengangkat senjata dan bertempur di medan perang. Padahal usia remaja seharusnya masih berkutat dengan dunia pendidikan, meraih prestasi. Bukan malah berada di barak – barak prajurit, menunggu panggilan menarik pelatuk senjata api. Entah hal itu di Afganistan sudah tak ada lagi, atau justru malah menjadi tradisi.

1 komentar: