Jumpa lagi teman – teman blogger dengan saya
pemilik blog sederhana ini. Di Tulungagung ada satu gunung yang tidak tinggi,
sekitar 560 mdpl saja, namanya gunung Budheg. Memang unik karena budheg (bahasa
Jawa) artinya tuli, lokasinya ada di desa Tanggung, Kecamatan Campurdarat.
Banyak versi yg mengisahkan mengenai legenda
Joko Budheg. Ada yg menuturkan bahwa si Joko ini bertapa dengan menutup
kepalanya hingga menjadi batu untuk mendapatkan kekasih hati Rara Kembang Sore,
The Princess of Tulungagung. Rara
Kembang Sore memang pemeran utama dari berbagai kisah asal mula terjadinya
Tulungagung dalam Babad Tulungagung. Kasih tak sampai yg dialaminya bersama
Pangeran Lembu Peteng berujung pada kematian sang pangeran. Namun roman epik
kuno inilah yang menjadi dasar utama berdirinya Kabupaten Tulungagung. Seperti
yg kita ketahui kisah dua sejoli dalam Babad Tulungagung ini juga menginspirasi
penamaan jalan, tempat, desa, kecamatan, sungai, dan berbagai tempat lain di
Tulungagung. Kenapa gunung di Kecamatan Campuradarat itu kemudian dinamai
Gunung Budheg? Mari kita analisa berdasarkan Babad Tulungagung dan penuturan
masyarakat.
Alkisah saat itu Kembang Sore sedang melarikan
diri karena ia sedang dicari-cari oleh Adipati Kalang. Dalam pelariannya ia
tinggal di rumah seorang janda bernama Mbok Rondho Tawang. Ada dua versi juga
dalam penamaan mbok rondho ini, ada yang menamakan Mbok Rondho Dadapan, dan
Mbok Rondho Tawang. Namun dari referensi tertulis yang penulis temukan, Mbok
Rondho Tawang lebih banyak digunakan dalam kajian ilmiah dan folklor. Mbok
Rondho Tawang ini memiliki anak yang bernama Joko Tawang. Ketika Kembang Sore
hidup di rumah tersebut, ia dirawat layaknya anak sendiri oleh Mbok Rondho
Tawang. Kembang Sore pun hidup di tengah hutan dengan sederhana dalam
pelariannya. Namun siapa yang tidak terpesona dengan kecantikan Kembang Sore.
Ternyata diam-diam saudara angkatnya sendiri, Joko Tawang, menaruh hati
padanya.
Suatu hari Mbok Rondho Tawang sedang menuju ke
pusat kota untuk menjual hasil taninya. Ia bertitah kepada Joko Tawang untuk
menjaga rumah dan adik angkatnya selama ia pergi. Namun kesempatan ketika
ibunya tidak dirumah, tidak dilewatkan begitu saja oleh Joko Tawang. Ia pun
merayu dan membujuk Kembang Sore untuk menerima hatinya. Kembang Sore ternyata
tidak memiliki perasaan yang sama padanya, bahkan Kembang Sore merasa sedikit
risih dengan sikapnya tersebut, karena ia sudah menganggap Joko Tawang sebagai
kangmas angkatnya sendiri. Joko Tawang tidak menyerah begitu saja sehingga ia
melakukan pemaksaan pada Kembang Sore. Kembang Sore akhirnya kabur dan
menghilang ditengah hutan. Joko Tawang mencari-cari karena teringat akan pesan
ibunya untuk menjaga adik angkatnya ini. Namun hingga matahari terbenam,
Kembang Sore tidak ditemukan. Joko Tawang ketakutan dan kebingungan.
Ketika Mbok Rondho Tawang pulang, ia
mencari-cari kedua anaknya yang sedang tidak ada dirumah. Ia terus memanggil
nama kedua anaknya tersebut, namun tidak ada yang menjawab. Kemudian ia melihat
ada sosok yang sedang bersembunyi dengan gemetar dibawah cikrak. Ternyata itu adalah Joko Tawang yang sedang gemetar
ketakutan untuk menemui ibunya dan menyembunyikan diri dibalik cikrak. Mbok Rondho Tawang pun marah,
“Oalah to lee.. Kowe ki ngopo? Diceluki kok ora semaur malah ndelik ngisor
cikrak! Budheg opo piye kowe iki? Polahmu ngono kuwi koyo reco!”. Kemudian
seketika itu, karena sabdha pandhita
ratu, kemarahan Mbok Rondho telah merubah anaknya sendiri menjadi arca
(reco). Mbok Rondho Tawang pun kemudian hanya bisa menyesali ucapannya yang
telah mengubah anaknya menjadi batu.
Begitulah sekelumit kisah dari Babad
Tulungagung yang menceritakan mengenai asal nama Gunung Budheg. Ternyata, nama budheg yang berarti tuli, terinspirasi
dari arca Joko Budheg didekat puncak. Joko Budheg sendiri sebenarnya adalah
Joko Tawang yang sedang berpura-pura tidak mendengar panggilan ibunya karena
ketakutan telah secara tidak sengaja “menghilangkan” Kembang Sore.
Lanjut lagi tentang perjalanan ya . . .
Dengan seorang teman saya berangkat ke gunung
Budheg untuk menikmati keindahan pemandangan yang bisa dinikmati dari puncak
gunung tersebut. Untuk rute sendiri apabila anda dari luar kota langsung saja
yang paling gampang dari alun – alun kota Tulungagung menuju ke arah selatan
sampai perempatan Tamanan. Dari perempatan Tamanan ini lurus saja ke selatan
sekitar 5 km sampai anda menemukan alfamart Tanggung. Dari sini anda belok kiri
dengan kondisi jalan tanah untuk menuju pos pendakian. Tidak susah kok, anda
pun bisa bertanya kepada warga sekitar pas akan dibantu.
Sesampai di pos pendakian silahkan parkir
kendaraan anda (tenang saja 24 jam kok), lalu lapor pada petugas jaga yang ada
di pos dan silahkan anda mendaki ke puncak gunung Budheg. Jalan hanya satu arah
saja, jadi jangan khawatir anda kesasar, hehe.
Sekitar 1,5 jam mendaki akhirnya jam 17.00
saya sampai di puncak. Uhhh.. langsung saya ambil kamera dan mulai memotret,
hehehe.
Saya pun bermalam di sana, menikmati lampu
malam sebagian wilayah kota Tulungagung.
Waktu saya lewati untuk menikmati sunrise,
namun sayang sekali pagi itu berkabut hiks hiks hiks.
Demikian catatan kecil saya tentang gunung
Budheg, apabila ada kekeliruan pada tulisan tentang cerita rakyat asal muasal
gunung Budheg mohon koreksinya yaa. . .
Sampai jumpa lagi . . . .
BalasHapusBlog yang keren sekali. Butuh motor hubungi kami. Bisa wa kami 081 559 795 985