Rabu, 16 Desember 2015

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa pusat pemerintahan kabupaten Tulungagung dulunya tidak berada di pusat pemerintahan yang ada kini. Sebelumnya ibu kota Tulungagung bertempat di daerah Kalangbret dan diberi nama Kadipaten Ngrowo. Masih bisa kita lihat hingga kini bahwa kecamatan Kauman (eks Kalangbret) tak kalah ramai dengan pusat kota Tulungagung kini. Sejak saya lahir sampai saya usia 5 tahun saya tinggal di Kalangbret (rumah kakek), tidak jauh dari kantor kecamatan Kauman. Jadi lokasi yang kita bahas ini tentu punya makna sejarah tersendiri bagi saya. 

Perpindahan pusat pemerintahan terjadi sekitar 1906 Masehi. Pada masa Mataram Islam yaitu jaman Sri Pakubuwono I dan VOC tahun 1709 mengadakan perjanjian nama Kalangbret tetap digunakan sebagai ibukota Kadipaten Ngrowo. Begitu juga pada perjanjian Giyanti (1755) nama Kalangbret disebut salah satunya wilayah mancanegara (wilayah luar kekuasaan) kerajaan Yogyakarta. Kalangbret sebagai kadipaten mancanegara Mataram terbentuk sejak perjanjian Giyanti. Wilayah tersebut selanjutnya dijadikan ibu kota Kadipaten Ngrowo tahun 1750 – 1824 M, yakni mulai masa Mataram Islam hingga masa kolonial. Bupati pertama Kadipaten Ngrowo adalah Kyai Ngebehi Mangundirono. Nama Kalangbret telah dikenal sejak tahun 1255 M dalam prasasti Mula-Manurung dan disebut ulang dalam Nagara Kertagama dengan nama Kalangbret. Atas dasar tersebut kisah yang ada dalam Babad Tulungagung tentang asal Kalangbret dari Adipati Kalang yang tewas dalam kondisi tersembret-sembret oleh pangeran Lembu Peteng dimentahkan.                                                          

Sebelum bernama Kadipaten Ngrowo di wiayah Tulungagung sudah berdiri Katumenggunan Wajak, tepatnya pada pemerintahan Sultan Agung. Katumenggungan ini bertahan hingga terbentuknya Kadipaten Ngrowo dengan pusat pemerintahan di Wajak sejak perjanjian Giyanti. Ini terjadi antara tahun 1615-1709 M pada masa Mataram Islam dan masa kolonial. Saat masih terbentuk Katumenggunan yang menjadi Tumenggung adalah Senapati Mataram yang bernama Surontani. Tokoh yang sangat melegenda tersebut dimakamkan di Desa wajak Kidul, Kecamatan Boyolangu.  Katumenggunan Wajak berakhir dengan berdirinya Kabupaten Ngrowo yang beribukota di Kalangbret. Nama “Rowo” telah dikenal sejak tahun 1194 M (Prasasti Kemulan) dan disebut uang dalam Nagara Kertagama (1365 M). Nama ini kemudian berubah menjadi “Ngrowo”.


Saat tampuk kepemimpinan berada di tangan K.R.T. Pringgodiningrat, bupati Ngrowo ke IV ibu kota Kadipaten dipindahkan ke sebelah timur sungai Ngrowo yaitu pada lokasi yang sekarang ini. Selanjutnya kota baru ini dijadikan pusat pemerintahan atau ibu kota Kadipaten Ngrowo mulai masa kolonial sampai sekarang ini. Pada tahun 1800-an nama Toeloengagoeng dipakai sebagai nama salah satu distrik dalam wilayah Kadipaten Ngrowo. Nama Kadipaten Ngrowo berubah menjadi Kabupaten Tulungagung pada tanggal 1 April 1901 yaitu pada masa pemerintahan Bupati Ngrowo ke 11, R.T. Partowijoyo. 


Aula depan kantor kecamatan Kauman


Hingga kini di kawasan Kalangbret (kini kecamatan Kauman), masih banyak ditemukan bangunan sisa pemerintahan yang beralih fungsi. Pendopo bekas Kadipaten kini berubah menjadi kantor kecamatan Kauman. Tepat di depan kantor kecamatan Kauman, ada sebuah tanah lapang yang dulu merupakan alun – alun kadipaten Ngrowo. Akhirnya tanah lapang ini digunakan sebagai lapangan sepak bola juga. Saya masih ingat dulu waktu saya masih kecil, pemain timnas sepakbola era 90an Aji Santoso pernah bermain bola di sini saat jeda kompetisi Galatama. Tidak jarang juga lapangan ini digunakan untuk menggelar pasar malam/ pasar rakyat pada waktu tertentu.

Tanah lapang depan kantor kecamatan Kauman




Tidak jauh dari tanah lapang tersebut juga terdapat masjid (ada di utara kantor kecamatan Kauman), pasar, sekolah, dan puskesmas. Untuk pasar sendiri dikenal dengan nama pasar Kliwon. Jadi setiap pasaran Kliwon dalam kalender Jawa, maka pasar ini akan sangat ramai sekali orang berdagang di pasar dan lapangan tersebut.



Berdasarkan tata letak bangunan di kecamatan Kauman yang ada sekarang, sangat menunjukkan tata letak model kota tradisional. Hal ini semakin menunjukkan bahwa kecamatan Kauman (Kalangbret) dulunya merupakan pusat pemerintahan.







Sumber referensi sejarah dari saudari Ardhananeswari Pradipta.

Kalangbret, bekas pusat pemerintahan Tulungagung

Read More

Selasa, 15 Desember 2015

Setiap kota pasti mempunyai ciri khas, atau satu tempat yang menarik. Tak  terkecuali di kota saya, Tulungagung. Di Kecamatan Kauman, tepatnya desa Bolorejo ada satu tempat yang dikenal dengan gunung Mbolo. Sebuah bukit yang merupakan areal pemakaman etnis Tionghoa. Lokasinya berada pada jalur Tulungagung – Treggalek.



Dulu areal pemakaman ini digunakan sebagai daerah prostitusi, cukup miris memang. Namun sudah ditutup dan tidak ada aktifitas tersebut lagi di gunung Mbolo. Karena penasaran dengan tempat tersebut, dan ditambah lagi sudah tidak ada aktifitas prostitusi lagi di gunung Mbolo, maka saya pun tidak ragu untuk mengunjungi tempat tersebut untuk melihat seperti apa kondisinya saat ini.


Akhirnya pada suatu sore saya pun pergi ke sana. Saat memasuki pintu/ gerbang masuk cukup sepi. Saya pun juga agak ragu untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi sudah sampai lokasi, saya lanjutkan saja perjalanan saya untuk naik jalanan aspal yang menanjak. Tetapi rasa canggung  dan ragu itu pun sirna, karena di satu titik yang cukup lapang ternyata cukup banyak sepeda motor diparkir di sana.


Gerbang masuk


Saya pun memarkir sepeda motor saya, dan mencoba berkeliling di beberapa sudut area pemakaman. Areal pemakaman yang biasanya terkesan angker menjadi hilang. Banyak warga yang sekedar jalan – jalan, dan jogging.


Warga yang sedang jogging


Makam yang ada cukup bervariasi, ada yang sederhana, ada yang mewah, dan ada pula yang rusak tidak terawat.







Semakin ke atas pemandangan semakin menarik, terlebih lagi saat sore hari sembari menikmati sang surya akan tenggelam dari khatulistiwa.


Makan yang di puncak


Gunung Mbolo

Read More

Selasa, 08 Desember 2015

Jumpa lagi teman – teman blogger dengan saya pemilik blog sederhana ini. Di Tulungagung ada satu gunung yang tidak tinggi, sekitar 560 mdpl saja, namanya gunung Budheg. Memang unik karena budheg (bahasa Jawa) artinya tuli, lokasinya ada di desa Tanggung, Kecamatan Campurdarat.


Banyak versi yg mengisahkan mengenai legenda Joko Budheg. Ada yg menuturkan bahwa si Joko ini bertapa dengan menutup kepalanya hingga menjadi batu untuk mendapatkan kekasih hati Rara Kembang Sore, The Princess of Tulungagung. Rara Kembang Sore memang pemeran utama dari berbagai kisah asal mula terjadinya Tulungagung dalam Babad Tulungagung. Kasih tak sampai yg dialaminya bersama Pangeran Lembu Peteng berujung pada kematian sang pangeran. Namun roman epik kuno inilah yang menjadi dasar utama berdirinya Kabupaten Tulungagung. Seperti yg kita ketahui kisah dua sejoli dalam Babad Tulungagung ini juga menginspirasi penamaan jalan, tempat, desa, kecamatan, sungai, dan berbagai tempat lain di Tulungagung. Kenapa gunung di Kecamatan Campuradarat itu kemudian dinamai Gunung Budheg? Mari kita analisa berdasarkan Babad Tulungagung dan penuturan masyarakat.

Alkisah saat itu Kembang Sore sedang melarikan diri karena ia sedang dicari-cari oleh Adipati Kalang. Dalam pelariannya ia tinggal di rumah seorang janda bernama Mbok Rondho Tawang. Ada dua versi juga dalam penamaan mbok rondho ini, ada yang menamakan Mbok Rondho Dadapan, dan Mbok Rondho Tawang. Namun dari referensi tertulis yang penulis temukan, Mbok Rondho Tawang lebih banyak digunakan dalam kajian ilmiah dan folklor. Mbok Rondho Tawang ini memiliki anak yang bernama Joko Tawang. Ketika Kembang Sore hidup di rumah tersebut, ia dirawat layaknya anak sendiri oleh Mbok Rondho Tawang. Kembang Sore pun hidup di tengah hutan dengan sederhana dalam pelariannya. Namun siapa yang tidak terpesona dengan kecantikan Kembang Sore. Ternyata diam-diam saudara angkatnya sendiri, Joko Tawang, menaruh hati padanya.

Suatu hari Mbok Rondho Tawang sedang menuju ke pusat kota untuk menjual hasil taninya. Ia bertitah kepada Joko Tawang untuk menjaga rumah dan adik angkatnya selama ia pergi. Namun kesempatan ketika ibunya tidak dirumah, tidak dilewatkan begitu saja oleh Joko Tawang. Ia pun merayu dan membujuk Kembang Sore untuk menerima hatinya. Kembang Sore ternyata tidak memiliki perasaan yang sama padanya, bahkan Kembang Sore merasa sedikit risih dengan sikapnya tersebut, karena ia sudah menganggap Joko Tawang sebagai kangmas angkatnya sendiri. Joko Tawang tidak menyerah begitu saja sehingga ia melakukan pemaksaan pada Kembang Sore. Kembang Sore akhirnya kabur dan menghilang ditengah hutan. Joko Tawang mencari-cari karena teringat akan pesan ibunya untuk menjaga adik angkatnya ini. Namun hingga matahari terbenam, Kembang Sore tidak ditemukan. Joko Tawang ketakutan dan kebingungan.

Ketika Mbok Rondho Tawang pulang, ia mencari-cari kedua anaknya yang sedang tidak ada dirumah. Ia terus memanggil nama kedua anaknya tersebut, namun tidak ada yang menjawab. Kemudian ia melihat ada sosok yang sedang bersembunyi dengan gemetar dibawah cikrak. Ternyata itu adalah Joko Tawang yang sedang gemetar ketakutan untuk menemui ibunya dan menyembunyikan diri dibalik cikrak. Mbok Rondho Tawang pun marah, “Oalah to lee.. Kowe ki ngopo? Diceluki kok ora semaur malah ndelik ngisor cikrak! Budheg opo piye kowe iki? Polahmu ngono kuwi koyo reco!”. Kemudian seketika itu, karena sabdha pandhita ratu, kemarahan Mbok Rondho telah merubah anaknya sendiri menjadi arca (reco). Mbok Rondho Tawang pun kemudian hanya bisa menyesali ucapannya yang telah mengubah anaknya menjadi batu.



Begitulah sekelumit kisah dari Babad Tulungagung yang menceritakan mengenai asal nama Gunung Budheg. Ternyata, nama budheg yang berarti tuli, terinspirasi dari arca Joko Budheg didekat puncak. Joko Budheg sendiri sebenarnya adalah Joko Tawang yang sedang berpura-pura tidak mendengar panggilan ibunya karena ketakutan telah secara tidak sengaja “menghilangkan” Kembang Sore.

Lanjut lagi tentang perjalanan ya . . .
Dengan seorang teman saya berangkat ke gunung Budheg untuk menikmati keindahan pemandangan yang bisa dinikmati dari puncak gunung tersebut. Untuk rute sendiri apabila anda dari luar kota langsung saja yang paling gampang dari alun – alun kota Tulungagung menuju ke arah selatan sampai perempatan Tamanan. Dari perempatan Tamanan ini lurus saja ke selatan sekitar 5 km sampai anda menemukan alfamart Tanggung. Dari sini anda belok kiri dengan kondisi jalan tanah untuk menuju pos pendakian. Tidak susah kok, anda pun bisa bertanya kepada warga sekitar pas akan dibantu.

Sesampai di pos pendakian silahkan parkir kendaraan anda (tenang saja 24 jam kok), lalu lapor pada petugas jaga yang ada di pos dan silahkan anda mendaki ke puncak gunung Budheg. Jalan hanya satu arah saja, jadi jangan khawatir anda kesasar, hehe.






Sekitar 1,5 jam mendaki akhirnya jam 17.00 saya sampai di puncak. Uhhh.. langsung saya ambil kamera dan mulai memotret, hehehe.




Saya pun bermalam di sana, menikmati lampu malam sebagian wilayah kota Tulungagung.

Waktu saya lewati untuk menikmati sunrise, namun sayang sekali pagi itu berkabut hiks hiks hiks.




Demikian catatan kecil saya tentang gunung Budheg, apabila ada kekeliruan pada tulisan tentang cerita rakyat asal muasal gunung Budheg mohon koreksinya yaa. . .

Sampai jumpa lagi . . . .


Gunung Budheg

Read More