Kamis, 19 Juli 2018





Judul film                    : 12 Strong

Sutradara                     : Nicolai Fuglsig
Produser                      : Jerry Bruckheimer
Skenario                      : Ted Tally, Peter Craig
Pemain                     : Chris Hemsworth, Michael Shannon, Michael Pena, Navid Negahban, Trevante Rhodes, Geof Stults, Thad Luckinbill. William Fitchner
Rumah Produksi           : Alcon Entertainmet, Black Label Media, Pixar Animation Studios, Jerry Bruckheimer film
Tanggal rilis                 : 19 Januari 2018
Rating IMDB              : 6.6/10


Negara Indonesia baru saja dilanda suatu peristiwa duka yang berkaitan dengan aksi terorisme. Suatu kelompok yang menebar teror membabi buta berlandas paham yang sangat mereka percayai, meskipun mereka sendiri harus kehilangan nyawa. Bila kita tarik mundur ke belakang ada satu peristiwa besar mengenai terorisme yang menggemparkan dunia. Tragedi 11 September 2001, penyerangan menara kembar WTC di negara Paman Sam.

Kalau kalian menerka film ini berdasarkan kisah nyata dari peristiwa tersebut, jawabannya adalah, ya! Film 12 Strong memang berkisah tentang kisah pasukan kecil Amerika berjumlah 12 orang yang pergi mengemban tugas pasca serangan menara kembar WTC. Meninggalkan keluarga yang mereka cintai untuk pergi menuntaskan misi ke Afganistan. Pada awalnya kisah ini ditulis dalam bentuk novel dengan judul Horse Soldiers, karya Doug Stanton.

Pada awal film menampilkan berita mengenai aksi teror yang menewaskan ribuan nyawa. Dari situ saya sudah merasa tertarik dan dibuat penasaran oleh film ini. Karena tidak bisa dipungkiri aksi teror yang disebut – sebut dilakukan oleh kelompok Al Qaeda itu sangat menggemparkan dunia. Membuat masyarakat dunia menilai buruk agama Islam. Meskipun ada beberapa pihak yang menuding serangan itu sebenarnya dilakukan oleh pihak Amerika sendiri. Awalnya saya mengira film ini akan bercerita tentang pengungkapan dalang utama aksi teror tersebut. Ternyata berbeda dari yang saya perkirakan.

Bisa dibilang film 12 Strong ini mirip dengan film 13 Hours The Secret Soldiers of Benghazi, juga mirip dengan film American Sniper. Sama – sama diangkat dari kisah nyata, dan juga mengemban tugas di negara konflik. Dibintangi oleh Chris Hemsworth, aktor yang mempunyai suara agak serak – serak basah ini. Namun Chris Hemsworth tidak berambut panjang dan bersenjata palu layaknya Thor, satu karakter super hero yang sangat melekat kuat pada dirinya. Dia berperan sebagai Kapten Mitch Nelson, pemimpin dari satu regu pasukan Amerika ini.

Perang tentu sangat identik dengan kerusakan dan korban jiwa. Walau itu adalah hal yang biasa bagi para tentara, namun tentu mempunyai arti berbeda bagi keluarga tentara tersebut. Ada yang secara terang – terangan sangat berat melepas sang suami mengemban tugas ke medan perang, namun ada juga yang siap melepas suaminya bahkan memberi senyum semangat. Walaupun di balik senyum sang istri tersebut ada rasa tercekik di tenggorokan dan sesak di dada. Ada tanda tanya besar, apakah suami mereka bisa kembali pulang. Satu adegan dramatis yang membuat trenyuh, walaupun tidak disajikan dalam waktu yang lama di film 12 Strong. Kebiasaan menulis sepucuk surat sebelum berangkat bertugas oleh prajurit untuk keluarga mereka seolah itu adalah surat wasiat, menunjukkan betapa sangat beresiko tugas yang mereka emban.

Tugas Mitch Nelson dan pasukannya adalah bertemu dengan Jenderal Dostum pemimpin aliansi utara di Afganistan dan bekerja sama untuk melawan pasukan Taliban. Pelaku serangan teror adalah orang – orang Al Qaeda, lalu mengapa Taliban yang digempur? Karena Amerika menganggap Taliban melindungi kelompok Al Qaeda. Ternyata melawan pasukan Taliban tidaklah mudah. Jumlah pasukan Taliban yang dipimpin oleh Mullah Razzan berjumlah ribuan dan dilengkapi dengan senjata yang canggih. Sedangkan pasukan aliansi utara yang bekerja sama dengan pasukan Mitch Nelson hanya ratusan pasukan berkuda saja. Dalam hal ini, saya melihat bahwa Amerika menunjukkan kebesaran negara mereka dengan berbagai jalan termasuk melalui film ini. Afganistan negara yang dilanda konflik adalah yang punya tanah, namun Amerika yang punya langitnya. Karena Amerika mempunyai senjata yang mematikan, mereka bisa menembakkan rudal – rudal untuk melumpuhkan lawan yang dilepaskan dari pesawat tempur. Dan rudal – rudal itulah yang diinginkan oleh milisi aliansi utara untuk mengalahkan Taliban. Bahwa pasukan aliansi utara “butuh” Amerika. Akhirnya saya jadi ingat satu pernyataan bahwa militer Amerika itu kuat karena teknologi persenjatannya. Secara kemampuan tempur personelnya masih kalah bila dibandingkan pasukan TNI kita.

Mitch Nelson merupakan karakter seorang prajurit Amerika dengan pangkat kapten dan terbilang masih muda. Prajurit yang cerdas dalam mengatur strategi tempur. Dia sangat didukung oleh anggota pasukannya, walaupun sebenarnya pasukan ini baru pertama kali ini bertugas di medan perang. Bila dipikir secara rasional tentu sebuah penugasan yang beresiko untuk sebuah misi yang besar. Sedangkan lawan mainnya adalah Jenderal Dostum yang diperankan oleh Navid Negahban aktor asal Iran, merupakan sosok pimpinan yang sangat disegani oleh pasukannya berperang melawan Taliban.

Amerika ingin menunjukkan pada dunia bahwa siapapun musuhnya merupakan kelompok yang sangat berbahaya. Termasuk Taliban yang digambarkan begitu kejam melakukan eksekusi mati terhadap warga sipil dan membatasi anak – anak untuk menempuh pendidikan. Saya sempat berpikir apakah memang Taliban sekejam itu? Atau apakah suatu adegan hiperbolis yang ditunjukkan dalam film ini bahwa Amerika selalu tahu segalanya. Dan Amerika sebagai negara berpengaruh di dunia, turun tangan sebagai pahlawan dalam konflik itu.
Film ini merupakan film drama, bukan film action. Kebetulan saja berkisah tentang dunia militer, sehingga banyak adegan tembak – menembak. Walau begitu, adegan perang yang disajikan tetap tak kalah seru dengan film action. Tembakan rudal, suara desingan senjata laras panjang, ledakan disertai api yang membumbung tinggi, jeritan pasukan yang tertembak, tetap membuat saya tegang. Tak hanya itu, adegan bom bunuh diri juga bisa kita nikmati dalam film ini. Ceceran darah, potongan tubuh dan daging pelaku membuat saya sedikit mengernyitkan mata.

Tokoh Mitch Nelson dan Jenderal Dolsum sangat dominan  di film ini, walau ada Letnan Sam Diller yang diperankan oleh Michael Pena dan Hal Spencer yang diperankan Michael Shannon yang merupakan sebagian anggota pasukan Mitch Nelson. Jenderal Dostum bisa saya katakan sebagai pemimpin yang berwatak keras dan menilai orang dari fisiknya. Dia meragukan kemampuan Mitch Nelson karena dinilai terlalu muda untuk memimpin pasukan. Jenderal Dostum Mitch Nelson sering berkomunikasi dan berdebat dalam strategi menyerang Taliban. Sebagai manusia biasa tentu Dostum mempunyai nafsu pribadi terkait kekuasaan. Hal itu membuat Mitch Nelson geram. Dalam kondisi perang saja seseorang masih berpikir tentang tahta, bagaimana bila negara dalam keadaan aman? Tentu tatapan mata sebagai teman, namun dalam hati berupaya untuk menyingkirkan.

Aksi heroik dalam pertempuran menampilkan gaya berperang yang berbeda. Pasukan militer era modern menggunakan kuda sebagai tunggangan untuk menyerbu musuh. Kalau dalam film dengan setting waktu jaman kuno orang berperang menunggang kuda bersenjata pedang atau panah. Namun di film ini bersenjata AK47, M16, maupun senjata modern lainnya. Menggempur musuh yang mempunyai kendaraan lapis baja dengan peluru roket. Rasanya mirip saat pejuang Indonesia bersenjata bambu runcing melawan pasukan Belanda dengan senapan dan meriamnya.

Nicolai Fuglsic sebagai sutradara juga memasukkan nilai sosial dan kemanusiaan. Tentara yang mampunyai badan besar dan akrab dengan senjata api ternyata juga bisa menangis. Juga bisa bersedih bila korban perang masih anak – anak. Negara yang dilanda perang konflik berkepanjangan tentu memakan banyak korban. Anak laki – laki yang masih memasuki usia remaja dipaksa untuk mengangkat senjata dan bertempur di medan perang. Padahal usia remaja seharusnya masih berkutat dengan dunia pendidikan, meraih prestasi. Bukan malah berada di barak – barak prajurit, menunggu panggilan menarik pelatuk senjata api. Entah hal itu di Afganistan sudah tak ada lagi, atau justru malah menjadi tradisi.

12 Strong : Pertarungan 12 Prajurit

Read More

Minggu, 10 Juni 2018

Poster dari Wikipedia



Judul film                    : Coco
Sutradara                     : Lee Unkrich
Produser                      : Darla K .Anderson
Skenario                      : Adrian Molia, Matthew Aldrich
Pemain                 : Anthony Gonzales, Gael Garcia Bernal, Benjamin Bratt, Alana Ubach, Renee Victor, Ana Ofelia Murguia
Rumah Produksi         : Walt Disney Pictures, Pixar Animation Studios
Tanggal rilis                 : 22 November 2017

Coco adalah film animasi tiga dimensi produksi Pixar Animation Studios, dan dirilis oleh Walt Disney Pictures.  Dibintangi oleh aktor belia Anthony Gonzales, Gael Garcia Bernal, Benjamin Bratt, Alana Ubach, Renee Victor, dan Ana Ofelia Murguia. Dengan ide dasar hari perayaan orang mati, skenario yang dibuat oleh Adrian Molina dan Matthew Aldrich ini akan mengantarkan kita masuk ke alam arwah namun tidak menyeramkan. Justru dengan arahan sutradara Lee Unkrich, ada perjalanan yang menyentuh emosi disajikan dalam film ini.

Film ini mengambil latar di sebuah desa di Meksiko bernama Santa Cecillia. Coco sendiri sebenarnya adalah nama seorang nenek yang sudah tua renta. Keluarga besar Coco mempunyai usaha pembuatan sepatu yang diwariskan secara turun – temurun. Coco memiliki seorang cicit bernama Miguel Rivera, yang sangat ingin menjadi seorang seniman di bidang musik dan mengagumi seorang musisi Meksiko yang sudah melegenda bernama Ernesto de la Cruz. Di sela – sela waktunya bekerja sebagai tukang semir sepatu, Miguel yang masih bocah berusia dua belas tahun ini secara diam- diam belajar bermain gitar di sebuah tempat tersembunyi. Hal itu dia lakukan karena tradisi keluarganya yang anti dengan musik.


Semangat Miguel untuk menjadi musisi sangatlah kuat. Ketika ada kesempatan  untuk mengikuti sebuah audisi musik di alun - alun, dia tak akan melewatkan kesempatan itu. Bagi Miguel kesempatan tidak akan datang dua kali. Proses untuk mengikuti audisi musik tidak berjalan mulus bagi Miguel, karena bertepatan dengan hari Dia de los Muertos. Hari di mana arwah para leluhur akan kembali pulang untuk melihat keluarganya yang masih hidup. Orang – orang akan memajang foto almarhum leluhur meraka yang sudah meninggal di ruang sembahyang di rumah masing – masing. Dan pada hari itulah Miguel secara mengejutkan bisa masuk ke dalam dunia arwah.

Di dalam dunia arwah, Miguel harus melakoni petualangannya. Dia harus bisa mendapatkan restu arwah leluhurnya untuk bisa kembali ke dunia nyata. Dalam perjuangannya itu, Miguel bertemu dengan arwah sosok yang dikaguminya selama ini. Dan tentu akhirnya dia bisa menguak misteri siapa sebenarnya  wajah foto yang robek di ruang sembahyang rumahnya.

Film ini dari awal sebenarnya sudah menghadirkan keunikan tersendiri. Judul film merupakan seorang tokoh di film ini juga, namun tokoh utamanya justru diperankan oleh nama yang lain. Sehingga selama kita menikmati cerita dalam film ini, kita akan lupa siapa Coco, dan mengapa film ini diberi judul Coco. Jawaban dari pertanyaan itu secara tiba – tiba muncul dari tokoh yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Dan penonton pasti akan bergumam, “Oh, jadi dia orangnya.”

Sebagai hasil dari garapan Pixar Animation Studios, film Coco mempunyai tampilan yang sangat bagus dan karakter tokohnya menjadi lebih hidup. Detail wajah sebagai contohnya. Pada sosok nenek Coco yang sudah tua renta, detail kulit keriput ditambah postur yang bungkuk membuat saya trenyuh melihatnya sebagai orang yang tinggal menghabiskan masa tuanya. Sedangkan pada tokoh Miguel, ini yang membuat saya kagum. Pada sosok bocah ini, pada bagian atas mulut bagian kiri ada tahi lalat. Bagi saya hal itu bagaimana film animasi ini membuat tokoh yang mempunyai ciri khas. Belum lagi sosok arwah dalam bentuk rangka dan tengkorak, yang dibuat sedemikian rupa sehingga tidak tampak menyeramkan. Bila kalian sedikit jeli saat menonton, kalian akan melihat beberapa figur animasi dari film lain buatan Pixar Animation Studios ada di dalam film ini. Walaupun hanya sekilas.

Karena setting lokasi pada film ini berada di negara Meksiko maka jangan heran ada ungkapan dalam bahasa Latin yang khas. Selain itu juga musik khas negri Sombrero dengan alunan suara gitar yang cepat dan riang, akan banyak mengalun dalam film Coco. Membuat saya menggerakkan jari – jari kaki untuk mengimbangi alunan iramanya.

Karena merupakan sebuah film animasi, maka ada pengisi suara dalam pembuatan film ini tentunya. Beberapa diantaranya merupakan orang Meksiko, salah satunya adalah Anthony Gonzales yang menjadi pengisi suara untuk Miguel. Walaupun berkebangsaan Meksiko, Anthony Gonzales mempunyai kemampuan berbahasa Inggris yang sangat baik untuk mengisi dialog film Coco.
Awal cerita film ini menyajikan suasana masyarakat menengah di pedesaan. Suatu pesan untuk tidak meninggalkan kearifan lokal. Sajian musik latin, topi lebar sombrero, merupakan salah satu promosi untuk menampilkan budaya Meksiko ke dunia internasional. Hal yang patut ditiru oleh pembuat film di Indonesia, di mana  beberapa film malah mengambil lokasi syuting di luar negri.

Awalnya saya menganggap film Coco merupakan film untuk anak – anak. Tetapi saya salah. Film ini layak ditonton untuk semua kalangan, anak – anak hingga dewasa. Ada hal yang menarik pada bagian awal film. Saat Miguel melihat rekaman film Ernesto de la Cruz, dia melihat adengan orang berciuman di rekaman itu. Lalu Miguel memicingkan matanya. Mengisyaratkan bahwa Miguel memang masih belum layak untuk melihat adegan itu. Satu pesan moral dari film Coco.

Tidak bisa dipungkiri film Coco sarat akan pesan di dalamnya. Pesan mengenai tradisi yang tidak boleh dilupakan, yaitu mengenang leluhur yang telah mendahului kita. Tetap mengingat dan mendoakan mereka. Dalam film ini dikisahkan dalam wujud perayaan hari Dia de los Muertos. Mungkin kalau di Indonesia bisa dianalogikan semacam tradisi selamatan untuk orang yang telah meninggal.

Selain itu kita juga diberi pesan untuk mempertahankan apa yang diwariskan oleh keluarga kita. Secara turun – temurun, keluarga besar nenek Coco mempertahankan usaha pembuatan sepatu, walaupun hanya sekelas industri kecil saja.

Mengejar impian dan berusaha mewujudkannya, merupakan salah satu pesan utama dalam film Coco. Bagaimana sosok Miguel yang berambisi menjadi seorang musisi, yang jelas sangat ditentang oleh semua anggota keluarganya. Selama impian itu tidak merugikan orang lain tentu kita semua mempunyai hak untuk berusaha menggapainya dengan cara yang benar. Karena bila kita berbuat curang, maka suatu saat apa yang kita raih akan sirna juga.

Skenario yang ditampilkan menurut saya juga sangat bagus. Di sepanjang film, tokoh Miguel akan selalu ada dan benar – benar sebagai tokoh utama yang sangat kuat. Namun dialog, kualitas animasi, dan kualitas Anthony Gonzales sebagai pengisi suara tidak membuat saya bosan dengan tokoh ini. Konflik yang dihadirkan dalam film ini juga membuat saya sebagai penonton cukup terbawa arus, masuk ke dalamnya. Suasana ceria, rasa kecewa, rasa geram, rasa haru, dikemas secara apik sehingga dibawa oleh penonton dalam pikirannya.

Akhir cerita yang penuh rasa haru sangat mungkin membuat penonton, termasuk saya sendiri merasakan genangan air di kedua bola mata. Bagaimana wujud cinta kasih antara orang tua dan anak yang saling merindukan. Bagaimanapun juga keluarga adalah segalanya di dunia ini.


Satu catatan dari saya untuk film ini yaitu cukup banyak menampilkan simbol tengkorak. Memang mayoritas tokoh dalam film Coco adalah hantu yang berwujud kerangka manusia, tetapi mereka mempunyai ekspresi yang tidak meyeramkan bahkan cenderung lucu. Namun bila dalam simbol saja saya rasa tidak tepat dengan tokoh utamanya yang seorang anak usia dua belas tahun.

Coco merupakan film animasi yang patut untuk kalian lihat. Film yang menurut saya tergolong ringan, tidak perlu berpikir keras untuk menebak teka – teki apa yang disajikan di dalamnya. Kolaborasi skenario dan animasi yang memukau menjadikan film ini penuh makna dan berkesan.

Coco : Drama di dunia arwah

Read More

Rabu, 21 Februari 2018



Tentu sangat menyenangkan bila mempunyai teman yang juga menaruh minat yang sama dengan kita. Saya sangat suka dengan peninggalan jaman kuno, baik itu prasasti, candi maupun situs – situs bersejarah lainnya. Terutama peninggalan kerajaan Majapahit. Kami berencana mengunjungi candi Dadi, salah satu candi yang terletak di bukit Walikukun Tulungagung.


Ada dua rute untuk menuju candi Dadi di Tulungagung yang kami harus menempuhnya melewati bukit Walikukun ini, jalur barat dan jalur timur. Dan kami memutuskan untuk melewati jalur timur. Setelah parkir kendaraan kami segera masuk lokasi bukit Walikukun. Ada gapura yang terbuat dari batu.


Melewati anak tangga kami mulai naik menelusuri dengan penuh semangat di pagi hari yang sangat cerah. Setelah anak tangga yang kami lewati habis, kami pun mulai berjalan melewati jalan setapak di area yang rimbun dengan pohon mirip hutan. Sangat menyenangkan bagai berjalan di masa lalu. Hehehe.

Jalan menuju candi Dadi Tulungagung



Sampai akhirnya kami sampai di tempat yang lapang, dengan pemandangan yang sangat indah. Sampai betah berlama – lama di tempat ini. Bahkan nyaris satu jam di sini. Hahaha.

Pemandangan di bukit Walikukun




Setelah sadar bahwa harus melepas pemandangan yang indah itu, kami melanjutkan perjalanan. Kami menaiki bukit, namun makin lama yanga ada malah semak – semak belukar yang tinggi. Dan kami kesasar!  Sempat bingung dan balik arah akhirnya kami menemukan jalan yang benar untuk sampai ke candi Dadi.


Semakin lama jalan yang kami tempuh semakin menanjak dan curam. Terlebih ada beberapa genangan air yang membuat jalan tanah sedikit licin. Beberapa kali kami harus istirahat sejenak, karena teman saya juga agak pucat wajahnya. Hehehe.


Dan seolah berpagar semak – semak serta pepohonan, candi Dadi mulai terlihat.


Sampai juga di candi Dadi, yuhuuuu. Girang deh.

Candi Dadi Tulungagung



Salah satu sudut candi Dadi




Menurut keterangan yang ada, candi Dadi diperkirakan dibangun pada akhir masa Majapahit. Berupa tumpukan batu besar yang megah berada di puncak bukit. Tidak ada relief, namun ada sumuran yang besar di atas candi. Sayang sekali saya tidak bisa memanjat candi untuk melihat sumuran itu.


Cukup unik candi ini dibangun di atas runtuhan batu. Namun sangat kokoh dan rapi penyusunannya. Bisa jadi, bebatuan yang ada di sekitar candi Dadi ini merupakan sisa – sisa batu untuk membuat candi Dadi.





Tanah tempat berdirinya candi Dadi juga diberi pagar dengan batu – batu besar. Sangat mungkin supaya tidak ambrol sehingga candi tidak ambruk juga. Luar biasa ya sang insiyur teknik sipil waktu itu. Namun pada sisi lainnya tidak saya temukan, mungkin sudah tertimbun tanah tetapi masih ada.




Bagi orang awam mungkin candi Dadi hanya berupa tumpukan batu besar saja. Tetapi bagi saya pribadi candi Dadi merupakan karya seni yang agung, sangat menarik. Lekukan pahatan batu yang rapi dan indah.


Awan mendung terlihat, kami memutuskan untuk turun bukit. Karena bila sudah turun hujan tetapi masih dalam perjalanan turun dari candi maka akan merepotkan. Hanya ada satu payung kecil yang kami bawa. Hehehe. Romantis, so sweet.


Tetapi lagi – lagi kami kesasar, jalan berbeda kami tempuh. Lebih curam, tetapi ujungnya ternyata adalah jalur ke candi lewat jalur barat. Sedangkan tadi kami berangkat lewat jalur sebelah timur. Hujan pun turun. 

Episode get lost selesai.


Candi Dadi

Read More

Senin, 15 Januari 2018

Museum Wajakensis Tulungagung

Pernah mengetahui kata Wajakensis? Atau lebih lengkapnya Homo Wajakensis? Saya yakin kalian semua pernah mengetahuinya saat pelajaran sejarah. Homo Wajakensis merupakan manusia purba golongan Homo sapiens (manusia cerdas) yang pernah hidup di Indonesia. Ditemukan oleh Van Riestchoten pada tahun 1889 di desa Wajak, kabupaten Tulungagung. Fosil ini kemudian diteliti lebih lanjut oleh Eugene Dubois. Ternyata kampung halaman saya merupakan salah satu wilayah peradaban masa lalu nih, hehehe.



Karena nama Homo Wajakensis sudah mendunia, maka nama tersebut dijadikan nama museum daerah kabupaten Tulungagung. Terletak di kecamatan Boyolangu, sekitar 4 kilometer arah selatan dari alun – alun Tulungagung. Lokasinya cukup sunyi karena berada di areal persawahan, namun hal tersebut yang membuat nyaman bila berkunjung ke museum Wajakensis Tulungagung.



Di depan pintu masuk menghadap arah utara, sudah berjejer beberapa prasasti berukuran besar. Namun sayang sekali walaupun bentuk prasasti tersebut masih utuh, tulisan yang terpahat pada prasasti sudah tidak bisa dibaca karena rusak. Hanya ada satu prasasti saja yang masih bisa terbaca tulisannya, tetapi juga hanya sebagian saja.

Jejeran prasasti

Permukaan yang rusak sehingga tulisan juga musnah


Ada lambang tertentu pada prasasti



Salah satu prasasti dengan tulisan yang masih bisa dibaca


Selain itu saya juga melihat meja batu di dekat pintu masuk museum. Ada garis – garis yang tentu sebenarnya mempunyai maksud dalam pembuatannya.



Pada ruangan dalam museum Wajakensis banyak sekali koleksi benda purbakala. Benda – benda tersebut kebanyakan berupa arca yang ditemukan di kabupaten Tulungagung.





Di sisi samping barat musem bagian luar saya juga menemukan beberapa arca dan meja batu kuno. Sungguh sangat indah dan begitu detail arca tersebut. Walaupun saya juga agak bingung karena dari jenis batu yang arca tersebut tergolong batu yang cukup baru dan bertuliskan huruf Cina.

Beberapa arca di sebelah barang gedung

Arca singa bertuliskan huruf Cina

Bagaimana ya cara memahat bentuk mulut? Detail bentuk giginya


Lengkap dengan bentuk ekor




Dan ada satu benda yang membuat saya sangat mengaguminya. Sebuah meja batu kecil berukuran sekitar panjang 60 cm dan lebar 30 cm. Bentuknya sangat rapi, simetris, permukaannya rata dan halus, serta ada ukiran di bagian bawah. Saya sempat membayangkan bagaimana cara membuatnya pada waktu itu dan dengan alat seperti apa. Batu andhesit yang sangat keras seperti itu, diolah oleh tangan terampil dan hasil dari desain seni masa lampau. Sangat indah!

Permukaan sangat halus

Simetris, bentuk siku sangat rinci


Namun sayang sekali, saya juga mendapatkan hal yang sangat miris. Entah mungkin karena ruang museum Wajakensis Tulungagung yang terbatas, ada beberapa benda purbakala lain yang ditempatkan tidak semestinya. Diletakkan saja di belakang bangunan museum dan dijadikan alas untuk menumpuk barang – barang yang lain. Semoga pihak pengelola museum Wajakensis lebih memperhatikan hal ini!




Saya lihat bangunan baru yang merupakan perluasan dari museum Wajakensis sudah jadi, tetapi masih kosong belum diisi. Memang menurut saya museum Wajakensis ini ukurannya lebih mirip dengan rumah petak. Terlalu sempit dengan koleksi benda purbakala yang cukup banyak.

Bagi kalian yang ingin berkunjung ke museum Wajakensis di Tulungagung silahkan berkunjung ya. Lokasinya sangat mudah dijangkau. 

Jam Kunjung Museum Wajakensis Tulungagung


Semoga kita selalu menjaga, melestarikan, dan tidak lupa dengan cagar budaya serta sejarah dari leluhur kita.



Museum Wajakensis Tulungagung

Read More