Judul
film : 12 Strong
Sutradara
: Nicolai Fuglsig
Produser
: Jerry Bruckheimer
Skenario : Ted Tally, Peter Craig
Pemain : Chris Hemsworth, Michael Shannon,
Michael Pena, Navid Negahban, Trevante Rhodes, Geof Stults, Thad Luckinbill.
William Fitchner
Rumah Produksi : Alcon Entertainmet, Black Label
Media, Pixar Animation Studios, Jerry Bruckheimer film
Tanggal
rilis : 19 Januari 2018
Rating
IMDB : 6.6/10
Negara Indonesia baru saja dilanda suatu peristiwa
duka yang berkaitan dengan aksi terorisme. Suatu kelompok yang menebar teror
membabi buta berlandas paham yang sangat mereka percayai, meskipun mereka
sendiri harus kehilangan nyawa. Bila kita tarik mundur ke belakang ada satu
peristiwa besar mengenai terorisme yang menggemparkan dunia. Tragedi 11
September 2001, penyerangan menara kembar WTC di negara Paman Sam.
Kalau kalian menerka film ini berdasarkan kisah
nyata dari peristiwa tersebut, jawabannya adalah, ya! Film 12 Strong memang
berkisah tentang kisah pasukan kecil Amerika berjumlah 12 orang yang pergi
mengemban tugas pasca serangan menara kembar WTC. Meninggalkan keluarga yang
mereka cintai untuk pergi menuntaskan misi ke Afganistan. Pada awalnya kisah
ini ditulis dalam bentuk novel dengan judul Horse Soldiers, karya Doug Stanton.
Pada awal film menampilkan berita mengenai aksi
teror yang menewaskan ribuan nyawa. Dari situ saya sudah merasa tertarik dan
dibuat penasaran oleh film ini. Karena tidak bisa dipungkiri aksi teror yang
disebut – sebut dilakukan oleh kelompok Al Qaeda itu sangat menggemparkan
dunia. Membuat masyarakat dunia menilai buruk agama Islam. Meskipun ada
beberapa pihak yang menuding serangan itu sebenarnya dilakukan oleh pihak
Amerika sendiri. Awalnya saya mengira film ini akan bercerita tentang
pengungkapan dalang utama aksi teror tersebut. Ternyata berbeda dari yang saya
perkirakan.
Bisa dibilang film 12 Strong ini mirip dengan film
13 Hours The Secret Soldiers of Benghazi, juga mirip dengan film American
Sniper. Sama – sama diangkat dari kisah nyata, dan juga mengemban tugas di
negara konflik. Dibintangi oleh Chris Hemsworth, aktor yang mempunyai suara
agak serak – serak basah ini. Namun Chris Hemsworth tidak berambut panjang dan
bersenjata palu layaknya Thor, satu karakter super hero yang sangat melekat
kuat pada dirinya. Dia berperan sebagai Kapten Mitch Nelson, pemimpin dari satu
regu pasukan Amerika ini.
Perang tentu sangat identik dengan kerusakan dan
korban jiwa. Walau itu adalah hal yang biasa bagi para tentara, namun tentu
mempunyai arti berbeda bagi keluarga tentara tersebut. Ada yang secara terang –
terangan sangat berat melepas sang suami mengemban tugas ke medan perang, namun
ada juga yang siap melepas suaminya bahkan memberi senyum semangat. Walaupun di
balik senyum sang istri tersebut ada rasa tercekik di tenggorokan dan sesak di
dada. Ada tanda tanya besar, apakah suami mereka bisa kembali pulang. Satu
adegan dramatis yang membuat trenyuh, walaupun tidak disajikan dalam waktu yang
lama di film 12 Strong. Kebiasaan menulis sepucuk surat sebelum berangkat
bertugas oleh prajurit untuk keluarga mereka seolah itu adalah surat wasiat,
menunjukkan betapa sangat beresiko tugas yang mereka emban.
Tugas Mitch Nelson dan pasukannya adalah bertemu
dengan Jenderal Dostum pemimpin aliansi utara di Afganistan dan bekerja sama
untuk melawan pasukan Taliban. Pelaku serangan teror adalah orang – orang Al
Qaeda, lalu mengapa Taliban yang digempur? Karena Amerika menganggap Taliban
melindungi kelompok Al Qaeda. Ternyata melawan pasukan Taliban tidaklah mudah.
Jumlah pasukan Taliban yang dipimpin oleh Mullah Razzan berjumlah ribuan dan
dilengkapi dengan senjata yang canggih. Sedangkan pasukan aliansi utara yang
bekerja sama dengan pasukan Mitch Nelson hanya ratusan pasukan berkuda saja. Dalam
hal ini, saya melihat bahwa Amerika menunjukkan kebesaran negara mereka dengan
berbagai jalan termasuk melalui film ini. Afganistan negara yang dilanda
konflik adalah yang punya tanah, namun Amerika yang punya langitnya. Karena
Amerika mempunyai senjata yang mematikan, mereka bisa menembakkan rudal – rudal
untuk melumpuhkan lawan yang dilepaskan dari pesawat tempur. Dan rudal – rudal
itulah yang diinginkan oleh milisi aliansi utara untuk mengalahkan Taliban. Bahwa
pasukan aliansi utara “butuh” Amerika. Akhirnya saya jadi ingat satu pernyataan
bahwa militer Amerika itu kuat karena teknologi persenjatannya. Secara
kemampuan tempur personelnya masih kalah bila dibandingkan pasukan TNI kita.
Mitch Nelson merupakan karakter seorang prajurit
Amerika dengan pangkat kapten dan terbilang masih muda. Prajurit yang cerdas dalam
mengatur strategi tempur. Dia sangat didukung oleh anggota pasukannya, walaupun
sebenarnya pasukan ini baru pertama kali ini bertugas di medan perang. Bila
dipikir secara rasional tentu sebuah penugasan yang beresiko untuk sebuah misi
yang besar. Sedangkan lawan mainnya adalah Jenderal Dostum yang diperankan oleh
Navid Negahban aktor asal Iran, merupakan sosok pimpinan yang sangat disegani
oleh pasukannya berperang melawan Taliban.
Amerika ingin menunjukkan pada dunia bahwa siapapun
musuhnya merupakan kelompok yang sangat berbahaya. Termasuk Taliban yang
digambarkan begitu kejam melakukan eksekusi mati terhadap warga sipil dan
membatasi anak – anak untuk menempuh pendidikan. Saya sempat berpikir apakah
memang Taliban sekejam itu? Atau apakah suatu adegan hiperbolis yang
ditunjukkan dalam film ini bahwa Amerika selalu tahu segalanya. Dan Amerika
sebagai negara berpengaruh di dunia, turun tangan sebagai pahlawan dalam
konflik itu.
Film ini merupakan film drama, bukan film action. Kebetulan saja berkisah tentang
dunia militer, sehingga banyak adegan tembak – menembak. Walau begitu, adegan
perang yang disajikan tetap tak kalah seru dengan film action. Tembakan rudal, suara desingan senjata laras panjang,
ledakan disertai api yang membumbung tinggi, jeritan pasukan yang tertembak, tetap
membuat saya tegang. Tak hanya itu, adegan bom bunuh diri juga bisa kita
nikmati dalam film ini. Ceceran darah, potongan tubuh dan daging pelaku membuat
saya sedikit mengernyitkan mata.
Tokoh Mitch Nelson dan Jenderal Dolsum sangat
dominan di film ini, walau ada Letnan Sam
Diller yang diperankan oleh Michael Pena dan Hal Spencer yang diperankan Michael
Shannon yang merupakan sebagian anggota pasukan Mitch Nelson. Jenderal Dostum
bisa saya katakan sebagai pemimpin yang berwatak keras dan menilai orang dari
fisiknya. Dia meragukan kemampuan Mitch Nelson karena dinilai terlalu muda
untuk memimpin pasukan. Jenderal Dostum Mitch Nelson sering berkomunikasi dan berdebat
dalam strategi menyerang Taliban. Sebagai manusia biasa tentu Dostum mempunyai
nafsu pribadi terkait kekuasaan. Hal itu membuat Mitch Nelson geram. Dalam
kondisi perang saja seseorang masih berpikir tentang tahta, bagaimana bila
negara dalam keadaan aman? Tentu tatapan mata sebagai teman, namun dalam hati
berupaya untuk menyingkirkan.
Aksi heroik dalam pertempuran menampilkan gaya
berperang yang berbeda. Pasukan militer era modern menggunakan kuda sebagai
tunggangan untuk menyerbu musuh. Kalau dalam film dengan setting waktu jaman
kuno orang berperang menunggang kuda bersenjata pedang atau panah. Namun di
film ini bersenjata AK47, M16, maupun senjata modern lainnya. Menggempur musuh
yang mempunyai kendaraan lapis baja dengan peluru roket. Rasanya mirip saat
pejuang Indonesia bersenjata bambu runcing melawan pasukan Belanda dengan
senapan dan meriamnya.
Nicolai Fuglsic sebagai sutradara juga memasukkan
nilai sosial dan kemanusiaan. Tentara yang mampunyai badan besar dan akrab
dengan senjata api ternyata juga bisa menangis. Juga bisa bersedih bila korban
perang masih anak – anak. Negara yang dilanda perang konflik berkepanjangan
tentu memakan banyak korban. Anak laki – laki yang masih memasuki usia remaja
dipaksa untuk mengangkat senjata dan bertempur di medan perang. Padahal usia
remaja seharusnya masih berkutat dengan dunia pendidikan, meraih prestasi.
Bukan malah berada di barak – barak prajurit, menunggu panggilan menarik
pelatuk senjata api. Entah hal itu di Afganistan sudah tak ada lagi, atau
justru malah menjadi tradisi.